Sri Aji Joyoboyo & Ramalannya
Sri Aji Joyoboyo & Ramalannya
Maharaja Jayabhaya adalah raja Kadiri
yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri
Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita
Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai
masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135),
prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha
(1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga
disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya
Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah
untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan
Janggala.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui
kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan
mempersatukannya kembali dengan Kadiri.
Kemenangan Jayabhaya atas Janggala
disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha
yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157.
Nama besar Jayabhaya tercatat dalam
ingatan masyarakat Jawa, sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman
Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya. Contoh naskah yang
menyinggung tentang Jayabaya adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa.
Dikisahkan Jayabaya adalah titisan
Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama
Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari
keluarga Pandawa.
Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara.
Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti.
Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan
Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina,
melahirkan Anglingdarma raja Malawapati.
Jayabaya turun takhta pada usia tua. Ia
dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat
petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai
dikunjungi sampai sekarang.
Prabu Jayabaya adalah tokoh yang identik
dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi
“Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan
lain sebagainya.
Dikisahkan dalam Serat Jayabaya Musarar,
pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali
Samsujen. Dari ulama tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau
Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat.
Dari nama guru Jayabaya di atas dapat
diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di
Pulau Jawa. Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan
Jayabaya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan
tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah
ucapan langsung Prabu Jayabaya, seorang raja besar dari Kadiri.
Tokoh pujangga besar yang juga ahli
ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis
naskah-naskah Ramalan Jayabaya. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan
namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan
Jayabaya pada umumnya bersifat anonim. Ramalan Jayabaya atau sering disebut
Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya
ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada khususnya
di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para
pujangga .Asal Usul utama serat jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar
yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keaslianya tapi
sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yg menuliskan bahwasanya
Jayabayalah yg membuat ramalan-ramalan tersebut.
"Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu
Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang
berani."
Meskipun demikian, kenyataannya dua
pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh, sama sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab mereka: Kakawin Bharatayuddha,
Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya, bahwa Prabu Jayabaya memiliki
karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum
Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin
Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu
Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri
Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri
Asal-usul
Dari berbagai sumber dan keterangan yang
ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa
sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan
Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 =
1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton
tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka
atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak jamannya Sultan Agung dari
Mataram bertahta (1613-1645 M).
1. Kitab Asrar
Kitab Jangka
Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I
dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun
1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang
bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah
"Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang beliau
keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah
leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir
(ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan
Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan
Nayagenggong. Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga
Keraton Kartasura tatkala jamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya
sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit,
Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll.
Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang,
Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704.
Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada
waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi
Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG.
Van Hoorn. Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang
Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi
tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa
Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669
Jawa (1744 M). Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be
Jam'iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta.
Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni
Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran
Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta
diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672
Jawa = 1747 M. Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari
Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan
Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut
nama baru itu. Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa,
yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala hingga jatuhnya
Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama
di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini nampaknya
Merupakan jaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung
antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di
Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri
ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai jaman Sunan Giri ke-3. Sejak
Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang
dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481)
Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu
seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini
kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan
Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang
wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa
Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat
julukan sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena
pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah
Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi
pengaruhnya sejak para Wali masih hidup. Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu
di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta
dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa
dan Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri
Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah
kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu
Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.Wasiat
Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun
dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti
dijaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau
dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka
lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram
sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang
Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia
oleh Sultan Agung). Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan
pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan
cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin
Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas
titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru, raja
Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga
(Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan "JANGKA
JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha
dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya
sebelumnya dalam bentuk babad. Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti
sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat
menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari. Cita-cita
yang pujangga yang dilukiskan sebagai jaman keemasan itu, jelas bersumber
semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi,
sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh
yang kini benama "REPUBLIK INDONESIA"!. Kedua sumber yang
diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup
diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga
Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I. Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini
sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad
18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa
baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab
Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah
itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang
bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang
dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan
tambahan riwayat buat negeri ini. Semua itu telah berasal dari satu sumber
benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari
kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh.
Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh
Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang
berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang
kita baca sekarang ini.
2. Asmarandana
Kitab Musarar
dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan
takluk, tak ada yang berani. Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu
Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja. Terkisahkan bahwa Sang
Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di
Pagedongan. Sangat raharja negara-nya. Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu.
Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari
Rum bernama, Sultan Maolana. Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya
disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa
pantas dihormati. Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu
Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu menge.nai Kitab Musarar. Yang
menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang
lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah
mengerti kehendak Dewata. Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita.
Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis
3 kali. Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah
yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah, Senjata ecis itu yang bernama
Udharati. Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara
sampai ke P. Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa. Raja
Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu
bulan Sang Prabu memanggil putranya. Setelah sang putra datang lalu diajak ke
gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung. Di sana
ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja yang
berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu.. Karenanya Sang Prabu sangat
waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima
sasmita gaib. Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung
sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata
sehingga apa yang dikehendaki terjadi. Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah
duduk ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni
isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengarn endangnya. Jadah (ketan)
setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah,
kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus. Kedelapan
endang seorang. Kemudian ki Ajar menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami
untuk sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian menarik senjata kerisnya. Ki
Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi.
Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat
perbuatan ayahnya. Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun
pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya. Heh anakku.
Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda.
3.
Sinom
Dia itu sudah
diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya.
Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu
bahwa saya tinggal 3 kali lagi. Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada jaman
lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin
berobah lagi. Diberi lambang Jaman Catur semune segara asat. Itulah Jenggala,
Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya
bahagia diatas bumi. Menghancurkan keburukan. Setelah 100 tahun musnah keempat
kerajaan tersebut. Kemudian ada jaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya
sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia. Di dalam teken
sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada
jaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa. Lambangnya: Sumilir naga kentir
semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan
tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah. Sebab berperang dengan
saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir
sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti jaman di Majapahit dengan rajanya
Prabu Brawijaya. Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya
disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis
(uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar. Hidangannya Jadah satu takir.
Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti jaman
lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya
bergelar Diyati Kalawisaya. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang
bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa
uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar. Negara tersebut
diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian
berganti jaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak.
Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah. Negara ini diberi
lambang: cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan
uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian
berganti jaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma. Dicintai pasukannya.
Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga
sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu
yang adil. Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu
itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar:
Sura Kalpa semune lintang sinipat. Kemudian berganti lagi dengan lambang:
Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan
diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab
melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang. Berdagang di tanah
Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu
menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. Jaman sudah berganti meskipun masih
keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang. Raja
berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan
gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar:
semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti. Nama rajanya Lung gadung
rara nglikasi(Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki
kelemahan suka wanita) kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja
yang disegani/ditakuti, namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan
sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya
rakyat adalah Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah
sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak.
Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak. Negara rusak.
Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti
jaman Kutila. Rajanya Kara Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.).
Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling
jegal ingin menjatuhkan). Nakhoda(Orang asing)ikut serta memerintah. Punya
keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara.
Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang
Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar(( Ratu yang selalu diikuti/diintai
dua saudara wanita tua untuk menggantikannya). Tidak berkesempatan menghias
diri(Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang
merepotkan ), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh
Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang
mengerti/memahami lambang tersebut. Pajak rakyat banyak sekali macamnya.
Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat
makin menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah
kesengsaraan negara. Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah
berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat
dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan
orang tua. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang
seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara
pecah. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan
gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka
Kutila musnah. Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak
kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi
Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu
Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan. Raja
keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa(Orang Islam yang
sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh
Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai
pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia. Waktu itulah ada keadilan.
Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar.
Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis
sekali.
4. Isi Ramalan
1) Besuk yen wis
ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
2) Tanah Jawa
kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi.
3) Prahu mlaku ing
dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di angkasa.
4) Kali ilang
kedhunge --- Sungai kehilangan mata air.
5) Pasar ilang
kumandhang --- Pasar kehilangan suara.
6) Iku tandha yen
tekane zaman Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda zaman Jayabaya telah
mendekat.
7) Bumi saya suwe
saya mengkeret --- Bumi semakin lama semakin mengerut.
8) Sekilan bumi
dipajeki --- Sejengkal tanah dikenai pajak.
9) Jaran doyan
mangan sambel --- Kuda suka makan sambal.
10) Wong wadon
nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan berpakaian lelaki.
11) Iku tandhane yen
wong bakal nemoni wolak-waliking zaman--- Itu pertanda orang akan mengalami
zaman berbolak-balik
12) Akeh janji ora
ditetepi --- Banyak janji tidak ditepati.
13) Akeh wong wani
nglanggar sumpahe dhewe--- Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
14) Manungsa padha
seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar kesalahan.
15) Ora ngendahake
hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
16) Barang jahat
diangkat-angkat--- Yang jahat dijunjung-junjung.
17) Barang suci
dibenci--- Yang suci (justru) dibenci.
18) Akeh manungsa
mung ngutamakke dhuwit--- Banyak orang hanya mementingkan uang.
19) Lali
kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan.
20) Lali
kabecikan--- Lupa hikmah kebaikan.
21) Lali sanak lali
kadang--- Lupa sanak lupa saudara.
22) Akeh bapa lali
anak--- Banyak ayah lupa anak.
23) Akeh anak wani
nglawan ibu--- Banyak anak berani melawan ibu.
24) Nantang bapa---
Menantang ayah.
25) Sedulur padha
cidra--- Saudara dan saudara saling khianat.
26) Kulawarga padha
curiga--- Keluarga saling curiga.
27) Kanca dadi
mungsuh --- Kawan menjadi lawan.
28) Akeh manungsa
lali asale --- Banyak orang lupa asal-usul.
29) Ukuman Ratu ora
adil --- Hukuman Raja tidak adil
30) Akeh pangkat
sing jahat lan ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil
31) Akeh kelakuan
sing ganjil --- Banyak ulah-tabiat ganjil
32) Wong apik-apik
padha kapencil --- Orang yang baik justru tersisih.
33) Akeh wong
nyambut gawe apik-apik padha krasa isin --- Banyak orang kerja halal justru
merasa malu.
34) Luwih utama
ngapusi --- Lebih mengutamakan menipu.
35) Wegah nyambut
gawe --- Malas untuk bekerja.
36) Kepingin urip
mewah --- Inginnya hidup mewah.
37) Ngumbar nafsu
angkara murka, nggedhekake duraka --- Melepas nafsu angkara murka, memupuk
durhaka.
38) Wong bener
thenger-thenger --- Orang (yang) benar termangu-mangu.
39) Wong salah
bungah --- Orang (yang) salah gembira ria.
40) Wong apik
ditampik-tampik--- Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
41) Wong jahat
munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik pangkat.
42) Wong agung
kasinggung--- Orang (yang) mulia dilecehkan
43) Wong ala
kapuja--- Orang (yang) jahat dipuji-puji.
44) Wong wadon ilang
kawirangane--- perempuan hilang malu.
45) Wong lanang
ilang kaprawirane--- Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
46) Akeh wong lanang
ora duwe bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri.
47) Akeh wong wadon
ora setya marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada suami.
48) Akeh ibu padha
ngedol anake--- Banyak ibu menjual anak.
49) Akeh wong wadon
ngedol awake--- Banyak perempuan menjual diri.
50) Akeh wong ijol
bebojo--- Banyak orang gonta-ganti pasangan.
51) Wong wadon
nunggang jaran--- Perempuan menunggang kuda.
52) Wong lanang linggih
plangki--- Laki-laki naik tandu.
53) Randha seuang
loro--- Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
54) Prawan seaga
lima--- Lima perawan lima picis.
55) Dhudha pincang
laku sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang.
56) Akeh wong ngedol
ngelmu--- Banyak orang berdagang ilmu.
57) Akeh wong
ngaku-aku--- Banyak orang mengaku diri.
58) Njabane putih
njerone dhadhu--- Di luar putih di dalam jingga.
59) Ngakune suci,
nanging sucine palsu--- Mengaku suci, tapi palsu belaka.
60) Akeh bujuk akeh
lojo--- Banyak tipu banyak muslihat.
61) Akeh udan salah
mangsa--- Banyak hujan salah musim.
62) Akeh prawan
tuwa--- Banyak perawan tua.
63) Akeh randha
nglairake anak--- Banyak janda melahirkan bayi.
64) Akeh jabang bayi
lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya.
65) Agama akeh sing
nantang--- Agama banyak ditentang.
66) Prikamanungsan
saya ilang--- Perikemanusiaan semakin hilang.
67) Omah suci
dibenci--- Rumah suci dijauhi.
68) Omah ala saya
dipuja--- Rumah maksiat makin dipuja.
69) Wong wadon lacur
ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana.
70) Akeh laknat---
Banyak kutukan
71) Akeh
pengkianat--- Banyak pengkhianat.
72) Anak mangan
bapak---Anak makan bapak.
73) Sedulur mangan
sedulur---Saudara makan saudara.
74) Kanca dadi
mungsuh---Kawan menjadi lawan.
75) Guru
disatru---Guru dimusuhi.
76) Tangga padha
curiga---Tetangga saling curiga.
77) Kana-kene saya
angkara murka --- Angkara murka semakin menjadi-jadi.
78) Sing weruh
kebubuhan---Barangsiapa tahu terkena beban.
79) Sing ora weruh
ketutuh---Sedang yang tak tahu disalahkan.
80) Besuk yen ana
peperangan---Kelak jika terjadi perang.
81) Teka saka wetan,
kulon, kidul lan lor---Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
82) Akeh wong becik
saya sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara.
83) Wong jahat saya
seneng--- Sedang yang jahat makin bahagia.
84) Wektu iku akeh
dhandhang diunekake kuntul--- Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
85) Wong salah
dianggep bener---Orang salah dipandang benar.
86) Pengkhianat
nikmat---Pengkhianat nikmat.
87) Durjana saya
sempurna--- Durjana semakin sempurna.
88) Wong jahat
munggah pangkat--- Orang jahat naik pangkat.
89) Wong lugu kebelenggu---
Orang yang lugu dibelenggu.
90) Wong mulya
dikunjara--- Orang yang mulia dipenjara.
91) Sing curang
garang--- Yang curang berkuasa.
92) Sing jujur
kojur--- Yang jujur sengsara.
93) Pedagang akeh
sing keplarang--- Pedagang banyak yang tenggelam.
94) Wong main akeh sing
ndadi---Penjudi banyak merajalela.
95) Akeh barang
haram---Banyak barang haram.
96) Akeh anak
haram---Banyak anak haram.
97) Wong wadon
nglamar wong lanang---Perempuan melamar laki-laki.
98) Wong lanang
ngasorake drajate dhewe---Laki-laki memperhina derajat sendiri.
99) Akeh
barang-barang mlebu luang---Banyak barang terbuang-buang.
100)
Akeh wong kaliren lan wuda---Banyak orang lapar dan
telanjang.
101)
Wong tuku ngglenik sing dodol---Pembeli membujuk
penjual.
102)
Sing dodol akal okol---Si penjual bermain siasat.
103)
Wong golek pangan kaya gabah diinteri---Mencari
rizki ibarat gabah ditampi.
104)
Sing kebat kliwat---Yang tangkas lepas.
105)
Sing telah sambat---Yang terlanjur menggerutu.
106)
Sing gedhe kesasar---Yang besar tersasar.
107)
Sing cilik kepleset---Yang kecil terpeleset.
108)
Sing anggak ketunggak---Yang congkak terbentur.
109)
Sing wedi mati---Yang takut mati.
110)
Sing nekat mbrekat---Yang nekat mendapat berkat.
111)
Sing jerih ketindhih---Yang hati kecil tertindih
112)
Sing ngawur makmur---Yang ngawur makmur
113)
Sing ngati-ati ngrintih---Yang berhati-hati
merintih.
114)
Sing ngedan keduman---Yang main gila menerima
bagian.
115)
Sing waras nggagas---Yang sehat pikiran berpikir.
116)
Wong tani ditaleni---Orang (yang) bertani diikat.
117)
Wong dora ura-ura---Orang (yang) bohong berdendang.
118)
Ratu ora netepi janji, musna panguwasane---Raja
ingkar janji, hilang wibawanya.
119)
Bupati dadi rakyat---Pegawai tinggi menjadi rakyat.
120)
Wong cilik dadi priyayi---Rakyat kecil jadi priyayi.
121)
Sing mendele dadi gedhe---Yang curang jadi besar.
122)
Sing jujur kojur---Yang jujur celaka.
123)
Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak rumah di
punggung kuda.
124)
Wong mangan wong---Orang makan sesamanya.
125)
Anak lali bapak---Anak lupa bapa.
126)
Wong tuwa lali tuwane---Orang tua lupa ketuaan
mereka.
127)
Pedagang adol barang saya laris---Jualan pedagang
semakin laris.
128)
Bandhane saya ludhes---Namun harta mereka makin
habis.
129)
Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---Banyak
orang mati lapar di samping makanan.
130)
Akeh wong nyekel bandha nanging uripe
sangsara---Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
131)
Sing edan bisa dandan---Yang gila bisa bersolek.
132)
Sing bengkong bisa nggalang gedhong---Si bengkok
membangun mahligai.
133)
Wong waras lan adil uripe nggrantes lan
kepencil---Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
134)
Ana peperangan ing njero---Terjadi perang di dalam.
135)
Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah
paham---Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
136)
Durjana saya ngambra-ambra---Kejahatan makin
merajalela.
137)
Penjahat saya tambah---Penjahat makin banyak.
138)
Wong apik saya sengsara---Yang baik makin sengsara.
139)
Akeh wong mati jalaran saka peperangan---Banyak
orang mati karena perang.
140)
Kebingungan lan kobongan---Karena bingung dan
kebakaran.
141)
Wong bener saya thenger-thenger---Si benar makin
tertegun.
142)
Wong salah saya bungah-bungah---Si salah makin sorak
sorai.
143)
Akeh bandha musna ora karuan lungane---Banyak harta
hilang entah ke mana
144)
Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan
sababe---Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
145)
Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram---Banyak
barang haram, banyak anak haram.
146)
Bejane sing lali, bejane sing eling---Beruntunglah
si lupa, beruntunglah si sadar.
147)
Nanging sauntung-untunge sing lali---Tapi betapapun
beruntung si lupa.
148)
Isih untung sing waspada---Masih lebih beruntung si
waspada.
149)
Angkara murka saya ndadi---Angkara murka semakin
menjadi.
150)
Kana-kene saya bingung---Di sana-sini makin bingung.
151)
Pedagang akeh alangane---Pedagang banyak rintangan.
152)
Akeh buruh nantang juragan---Banyak buruh melawan
majikan.
153)
Juragan dadi umpan---Majikan menjadi umpan.
154)
Sing suwarane seru oleh pengaruh---Yang bersuara
tinggi mendapat pengaruh.
155)
Wong pinter diingar-ingar---Si pandai direcoki.
156)
Wong ala diuja---Si jahat dimanjakan.
157)
Wong ngerti mangan ati---Orang yang mengerti makan
hati.
158)
Bandha dadi memala---Hartabenda menjadi penyakit
159)
Pangkat dadi pemikat---Pangkat menjadi pemukau.
160)
Sing sawenang-wenang rumangsa menang --- Yang
sewenang-wenang merasa menang
161)
Sing ngalah rumangsa kabeh salah---Yang mengalah
merasa serba salah.
162)
Ana Bupati saka wong sing asor imane---Ada raja berasal
orang beriman rendah.
163)
Patihe kepala judhi---Maha menterinya benggol judi.
164)
Wong sing atine suci dibenci---Yang berhati suci
dibenci.
165)
Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat---Yang
jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
166)
Pemerasan saya ndadra---Pemerasan merajalela.
167)
Maling lungguh wetenge mblenduk --- Pencuri duduk
berperut gendut.
168)
Pitik angrem saduwure pikulan---Ayam mengeram di
atas pikulan.
169)
Maling wani nantang sing duwe omah---Pencuri
menantang si empunya rumah.
170)
Begal pada ndhugal---Penyamun semakin kurang ajar.
171)
Rampok padha keplok-keplok---Perampok semua
bersorak-sorai.
172)
Wong momong mitenah sing diemong---Si pengasuh
memfitnah yang diasuh
173)
Wong jaga nyolong sing dijaga---Si penjaga mencuri
yang dijaga.
174)
Wong njamin njaluk dijamin---Si penjamin minta dijamin.
175)
Akeh wong mendem donga---Banyak orang mabuk doa.
176)
Kana-kene rebutan unggul---Di mana-mana berebut
menang.
177)
Angkara murka ngombro-ombro---Angkara murka
menjadi-jadi.
178)
Agama ditantang---Agama ditantang.
179)
Akeh wong angkara murka---Banyak orang angkara murka.
180)
Nggedhekake duraka---Membesar-besarkan durhaka.
181)
Ukum agama dilanggar---Hukum agama dilanggar.
182)
Prikamanungsan di-iles-iles---Perikemanusiaan
diinjak-injak.
183)
Kasusilan ditinggal---Tata susila diabaikan.
184)
Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal
budi---Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
185)
Wong cilik akeh sing kepencil---Rakyat kecil banyak
tersingkir.
186)
Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---Karena
menjadi kurban si jahat si laknat.
187)
Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe
prajurit---Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
188)
Lan duwe prajurit---Dan punya prajurit.
189)
Negarane ambane saprawolon---Lebar negeri
seperdelapan dunia.
190)
Tukang mangan suap saya ndadra---Pemakan suap
semakin merajalela.
191)
Wong jahat ditampa---Orang jahat diterima.
192)
Wong suci dibenci---Orang suci dibenci.
193)
Timah dianggep perak---Timah dianggap perak.
194)
Emas diarani tembaga---Emas dibilang tembaga
195)
Dandang dikandakake kuntul---Gagak disebut bangau.
196)
Wong dosa sentosa---Orang berdosa sentosa.
197)
Wong cilik disalahake---Rakyat jelata dipersalahkan.
198)
Wong nganggur kesungkur---Si penganggur tersungkur.
199)
Wong sregep krungkep---Si tekun terjerembab.
200)
Wong nyengit kesengit---Orang busuk hati dibenci.
201)
Buruh mangluh---Buruh menangis.
202)
Wong sugih krasa wedi---Orang kaya ketakutan.
203)
Wong wedi dadi priyayi---Orang takut jadi priyayi.
204)
Senenge wong jahat---Berbahagialah si jahat.
205)
Susahe wong cilik---Bersusahlah rakyat kecil.
206)
Akeh wong dakwa dinakwa---Banyak orang saling tuduh.
207)
Tindake manungsa saya kuciwa---Ulah manusia semakin
tercela.
208)
Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing
dipilih lan disenengi---Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan
disukai.
209)
Wong Jawa kari separo---Orang Jawa tinggal setengah.
210)
Landa-Cina kari sejodho --- Belanda-Cina tinggal
sepasang.
211)
Akeh wong ijir, akeh wong cethil---Banyak orang
kikir, banyak orang bakhil.
212)
Sing eman ora keduman---Si hemat tidak mendapat
bagian.
213)
Sing keduman ora eman---Yang mendapat bagian tidak
berhemat.
214)
Akeh wong mbambung---Banyak orang berulah dungu.
215)
Akeh wong limbung---Banyak orang limbung.
216)
Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman
teka---Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman
Ramalan
Jayabaya
Ramalan Jayabaya atau sering disebut
Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya
ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya
di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para
pujangga. Asal usul utama serat ramalan Jayabaya dapat dilihat pada kitab
Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan
keasliannya, tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan
bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut.
Kitab
Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut
dan takluk, tak ada yang berani. ”
Meskipun demikian, kenyataannya dua
pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh, sama sekali tidak menyebut bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis
dalam kitab-kitab mereka yang berjudul Kakawin Bharatayuddha, Kakawin
Hariwangsa, dan Kakawin Gatotkacasraya. Kakawin Bharatayuddha hanya
menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan
Bharatayuddha, sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi
tentang cerita ketika sang prabu Kresna ingin menikah dengan Rukmini dari
negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.[1]
Dari berbagai sumber dan keterangan yang
ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa
sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan
Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 =
1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton
tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka
atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari
Mataram bertahta (1613-1645 M).
Kitab "Jangka Jayabaya"
pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari
Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun
1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang
bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah
"Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang dia
keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila dia dapat mengetahui sejarah
leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya
terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara
Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon
dan Nayagenggong.
Disamping itu dia menjabat sebagai
Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II
(1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad
Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja
Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719)
yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang
memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706),
Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di
Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun
1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.
Ketika keraton Kartasura akan
dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku
Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki
keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan
didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon,
7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono
11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh putranya
sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di
Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga
keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10
Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.
Jangka Jayabaya yang dikenal sekarang
ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut
"Kitab Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para
pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar
(ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak
zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat
ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri
Kedaton". Giri Kedaton ini tampaknya Merupakan zaman peralihan kekuasaan
Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden
Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun
demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan
diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3.
Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis
kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari
Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini
lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di
Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481
M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau
mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H).
Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan
jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai "Ratu Bobodo")
ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang
berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh
kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali
masih hidup.
Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di
ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan
gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan
Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan
Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah
kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu
Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat Sultan Agung itu mengandung
kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah dia turun dari tahta, kerajaan besar ini
akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dizaman jauh sesudah Sultan
Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti dia dinilai (secara pandangan
batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi,
karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka
VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun
1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung).
Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan
dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil
pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari
Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157
M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru,
raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang
pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan "Jangka
Jayabaya" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha
dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya
sebelumnya dalam bentuk babad.
Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan
Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat
menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.
Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan
sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan
Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran
sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama "Republik
Indonesia". Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa
mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga
terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini
sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad
18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa
baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab
Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah
itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang
bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang
dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan
tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber
benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari
kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh.
Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh
Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang
berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang
kita baca sekarang ini.
Kitab
Musasar Jayabaya
Asmarandana
Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu
Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang
berani.
Dia sakti sebab titisan Batara wisnu.
Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra
lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja
negara-nya.
Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu.
Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari
Rum bernama, Sultan Maolana.
Lengkapnya bernama Ngali Samsujen.
Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita
lain bangsa pantas dihormati.
Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen
berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai
Kitab Musarar.
Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi
kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan
dengan sebaik-baiknya. Karena dia telah mengerti kehendak Dewata.
Sang Prabu segera menjadi murid sang
Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Diapun ingat
tinggal menitis 3 kali.
Kelak akan diletakkan dalam teken Sang
Pandita yang ditinggal di Ka'bah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan
kutbah,
Senjata ecis itu yang bernama Udharati.
Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P.
Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
Raja Pandita pamit dan musnah dari
tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil
putranya.
Setelah sang putra datang lalu diajak ke
gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata.
Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara
Wisnu.
Karenanya Sang Prabu sangat waspada,
tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita
gaib.
Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya
bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang.
Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah
duduk ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni
isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengarn endangnya.
Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu
talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang
pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus.
Kedelapan endang seorang. Kemudian ki
Ajar menghaturkan sembah: “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu
waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga
endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena
takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
Sang putra akan bertanya merasa takut.
Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan
putranya.
Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang
saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen
tatkala masih muda.
Sinom
Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh
guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji,
musnah raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3
kali lagi.
Bila sudah menitis tiga kali kemudian
ada zaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak
mungkin berobah lagi. Diberi lambang zaman Catur semune segara asat.
Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan
Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi.
Menghancurkan keburukan.
Setelah 100 tahun musnah keempat
kerajaan tersebut. Kemudian ada zaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya
sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
Di dalam teken sang guru Maolana Ngali.
Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada zaman Anderpati yang
bernama Kala-wisesa.
Lambangnya: Sumilir naga kentir semune
liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata
negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah.
Sebab berperang dengan saudara. Hasil
bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki
Ajar. Kemudian berganti zaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
Demikian nama raja bergelar Sang
Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun).
Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya
waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti zaman lagi. Di
Gelagahwangi dengan ibu kota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar
Diyati Kalawisaya.
Enam puluh lima tahun kemudian musnah.
Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat
berupa uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
Negara tersebut diberi lambang:
Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti zaman
Kalajangga. Beribu kota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti
oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah.
Negara ini diberi lambang: cangkrama
putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar
dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti zaman di
Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
Dicintai pasukannya. Kuat angkatan
perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya
Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
Raja perkasa tetapi berbudi halus.
Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih
dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
Kemudian berganti lagi dengan lambang:
Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan
diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab
melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
Berdagang di tanah Jawa kemudian
mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga
terpandang di pulau Jawa. Zaman sudah berganti meskipun masih keturunan
Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibu kota di Pajang.
Raja berpasukan campur aduk. Disegani
setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya
brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama
kemudian berganti.
Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi(Raja
yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita)
kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti,
namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya
dan hukum tidak karu-karuan.
Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang
anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara
geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam
bencana yang tidak dapat ditolak.
Negara rusak. Raja berpisah dengan
rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti zaman Kutila. Rajanya
Kara Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune
Pajang Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
Nakhoda(Orang asing)ikut serta
memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak
ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian
diganti dengan lambang Rara ngangsu, randa loro nututi pijer tetukar( Ratu yang
selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
Tidak berkesempatan menghias diri(Raja
yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan
), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali
Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang
mengerti/memahami lambang tersebut.
Pajak rakyat banyak sekali macamnya.
Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat
makin menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah
kesengsaraan negara.
Hukum dan pengadilan negara tidak
berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap
salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang
melupakan Tuhan dan orang tua.
Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya
diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir.
Kemudian ada tanda negara pecah.
Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan
salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa
berantakan. Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
Kemudian kelak akan datang Tunjung putih
semune Pudak kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di
bumi Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar
Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
Raja keturunan waliyullah. Berkedaton
dua di Mekah dan Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan
menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung
Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal
sedunia.
Waktu itulah ada keadilan. Rakyat
pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu
pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
Isi ramalan
Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran
---> Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
Tanah Jawa kalungan wesi ---> Pulau
Jawa berkalung besi.
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang
---> Perahu berjalan di angkasa.
Kali ilang kedhunge ---> Sungai
kehilangan mata air.
Pasar ilang kumandhang ---> Pasar
kehilangan suara.
Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis
cedhak ---> Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
Bumi saya suwe saya mengkeret --->
Bumi semakin lama semakin mengerut.
Sekilan bumi dipajeki ---> Sejengkal
tanah dikenai pajak.
Jaran doyan mangan sambel ---> Kuda
suka makan sambal.
Wong wadon nganggo pakeyan lanang
---> Orang perempuan berpakaian lelaki.
Iku tandhane yen wong bakal nemoni
wolak-waliking zaman ---> Itu pertanda orang akan mengalami zaman
berbolak-balik.
Akeh janji ora ditetepi ---> Banyak
janji tidak ditepati.
Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe
---> Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
Manungsa padha seneng nyalah --->
Orang-orang saling lempar kesalahan.
Ora ngendahake hukum Hyang Widhi --->
Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
Barang jahat diangkat-angkat --->
Yang jahat dijunjung-junjung.
Barang suci dibenci ---> Yang suci
(justru) dibenci.
Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit
---> Banyak orang hanya mementingkan uang.
Lali kamanungsan ---> Lupa jati
kemanusiaan.
Lali kabecikan ---> Lupa hikmah
kebaikan.
Lali sanak lali kadang ---> Lupa
sanak lupa saudara.
Akeh bapa lali anak ---> Banyak ayah
lupa anak.
Akeh anak wani nglawan ibu --->
Banyak anak berani melawan ibu.
Nantang bapa ---> Menantang ayah.
Sedulur padha cidra ---> Saudara dan
saudaratidak adil.
Akeh pangkat sing jahat lan ganjil
---> Banyak pejabat jahat dan ganjil
Akeh kelakuan sing ganjil ---> Banyak
ulah-tabiat ganjil
Wong apik-apik padha kapencil --->
Orang yang baik justru tersisih.
Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha
krasa isin ---> Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
Luwih utama ngapusi ---> Lebih
mengutamakan menipu.
Wegah nyambut gawe ---> Malas untuk
bekerja.
Kepingin urip mewah ---> Inginnya
hidup mewah.
Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake
duraka ---> Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
Wong bener thenger-thenger ---> Orang
(yang) benar termangu-mangu.
Wong salah bungah ---> Orang (yang)
salah gembira ria.
Wong apik ditampik-tampik ---> Orang
(yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
Wong jahat munggah pangkat ---> Orang
(yang) jahat naik pangkat.
Wong agung kasinggung ---> Orang
(yang) mulia dilecehkan
Wong ala kapuja ---> Orang (yang)
jahat dipuji-puji.
Wong wadon ilang kawirangane --->
perempuan hilang malu.
Wong lanang ilang kaprawirane --->
Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
Akeh wong lanang ora duwe bojo --->
Banyak laki-laki tak mau beristri.
Akeh wong wadon ora setya marang bojone
---> Banyak perempuan ingkar pada suami.
Akeh ibu padha ngedol anake --->
Banyak ibu menjual anak.
Akeh wong wadon ngedol awake --->
Banyak perempuan menjual diri.
Akeh wong ijol bebojo ---> Banyak
orang gonta-ganti pasangan.
Wong wadon nunggang jaran --->
Perempuan menunggang kuda.
Wong lanang linggih plangki --->
Laki-laki naik tandu.
Randha seuang loro ---> Dua janda
harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
Prawan seaga lima ---> Lima perawan
lima picis.
Dhudha pincang laku sembilan uang
---> Duda pincang laku sembilan uang.
Akeh wong ngedol ngelmu ---> Banyak
orang berdagang ilmu.
Akeh wong ngaku-aku ---> Banyak orang
mengaku diri.
Njabane putih njerone dhadhu ---> Di
luar putih di dalam jingga.
Ngakune suci, nanging sucine palsu
---> Mengaku suci, tapi palsu belaka.
Akeh bujuk akeh lojo---> Banyak tipu
banyak muslihat.
Akeh udan salah mangsa---> Banyak
hujan salah musim.
Akeh prawan tuwa---> Banyak perawan
tua.
Akeh randha nglairake anak---> Banyak
janda melahirkan bayi.
Akeh jabang bayi lahir nggoleki
bapakne---> Banyak anak lahir mencari bapaknya.
Agama akeh sing nantang---> Agama
banyak ditentang.
Prikamanungsan saya ilang--->
Perikemanusiaan semakin hilang.
Omah suci dibenci---> Rumah suci
dijauhi.
Omah ala saya dipuja---> Rumah
maksiat makin dipuja.
Wong wadon lacur ing ngendi-endi--->
Perempuan lacur dimana-mana.
Akeh laknat---> Banyak kutukan.
Akeh pengkianat---> Banyak
pengkhianat.
Anak mangan bapak---> Anak makan
bapak.
Sedulur mangan sedulur---> Saudara
makan saudara.
Kanca dadi mungsuh---> Kawan menjadi
lawan.
Guru disatru---> Guru dimusuhi.
Tangga padha curiga--->Tetangga
saling curiga.
Kana-kene saya angkara murka --->
Angkara murka semakin menjadi-jadi.
Sing weruh kebubuhan---> Barangsiapa
tahu terkena beban.
Sing ora weruh ketutuh---> Sedang
yang tak tahu disalahkan.
Besuk yen ana peperangan---> Kelak
jika terjadi perang.
Teka saka wetan, kulon, kidul lan
lor---> Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
Akeh wong becik saya sengsara--->
Banyak orang baik makin sengsara.
Wong jahat saya seneng---> Sedang
yang jahat makin bahagia.
Wektu iku akeh dhandhang diunekake
kuntul---> Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
Wong salah dianggep bener---> Orang
salah dipandang benar.
Pengkhianat nikmat---> Pengkhianat
nikmat.
Durjana saya sempurna---> Durjana
semakin sempurna.
Wong jahat munggah pangkat---> Orang
jahat naik pangkat.
Wong lugu kebelenggu---> Orang yang
lugu dibelenggu.
Wong mulya dikunjara---> Orang yang
mulia dipenjara.
Sing curang garang---> Yang curang
berkuasa.
Sing jujur kojur---> Yang jujur
sengsara.
Pedagang akeh sing keplarang--->
Pedagang banyak yang tenggelam.
Wong main akeh sing ndadi---> Penjudi
banyak merajalela.
Akeh barang haram---> Banyak barang
haram.
Akeh anak haram---Banyak anak haram.
Wong wadon nglamar wong lanang--->
Perempuan melamar laki-laki.
Wong lanang ngasorake drajate
dhewe---> Laki-laki memperhina derajat sendiri.
Akeh barang-barang mlebu luang--->
Banyak barang terbuang-buang.
Akeh wong kaliren lan wuda---> Banyak
orang lapar dan telanjang.
Wong tuku ngglenik sing dodol--->
Pembeli membujuk penjual.
Sing dodol akal okol---> Si penjual
bermain siasat.
Wong golek pangan kaya gabah
diinteri---> Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
Sing kebat kliwat---> Yang tangkas
lepas.
Sing telah sambat---> Yang terlanjur
menggerutu.
Sing gedhe kesasar---> Yang besar
tersasar.
Sing cilik kepleset---> Yang kecil
terpeleset.
Sing anggak ketunggak---> Yang
congkak terbentur.
Sing wedi mati---> Yang takut mati.
Sing nekat mbrekat---> Yang nekat
mendapat berkat.
Sing jerih ketindhih---> Yang hati
kecil tertindih
Sing ngawur makmur---> Yang ngawur
makmur
Sing ngati-ati ngrintih---> Yang
berhati-hati merintih.
Sing ngedan keduman---> Yang main
gila menerima bagian.
Sing waras nggagas---> Yang sehat
pikiran berpikir.
Wong tani ditaleni---> Orang (yang)
bertani diikat.
Wong dora ura-ura---> Orang (yang)
bohong berdendang.
Ratu ora netepi janji, musna
panguwasane--> -Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
Bupati dadi rakyat---> Pegawai tinggi
menjadi rakyat.
Wong cilik dadi priyayi---> Rakyat
kecil jadi priyayi.
Sing mendele dadi gedhe---> Yang
curang jadi besar.
Sing jujur kojur---> Yang jujur
celaka.
Akeh omah ing ndhuwur jaran--->
Banyak rumah di punggung kuda.
Wong mangan wong---> Orang makan
sesamanya.
Anak lali bapak---> Anak lupa bapa.
Wong tuwa lali tuwane---> Orang tua
lupa ketuaan mereka.
Pedagang adol barang saya laris--->
Jualan pedagang semakin laris.
Bandhane saya ludhes---> Namun harta
mereka makin habis.
Akeh wong mati kaliren ing sisihe
pangan---> Banyak orang mati lapar di samping makanan.
Akeh wong nyekel bandha nanging uripe
sangsara---> Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
Sing edan bisa dandan---> Yang gila
bisa bersolek.
Sing bengkong bisa nggalang
gedhong---> Si bengkok membangun mahligai.
Wong waras lan adil uripe nggrantes lan
kepencil---> Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
Ana peperangan ing njero---> Terjadi
perang di dalam.
Timbul amarga para pangkat akeh sing
padha salah paham---> Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
Durjana saya ngambra-ambra--->
Kejahatan makin merajalela.
Penjahat saya tambah---> Penjahat
makin banyak.
Wong apik saya sengsara---> Yang baik
makin sengsara.
Akeh wong mati jalaran saka
peperangan---> Banyak orang mati karena perang.
Kebingungan lan kobongan---> Karena
bingung dan kebakaran.
Wong bener saya thenger-thenger--->
Si benar makin tertegun.
Wong salah saya bungah-bungah---> Si
salah makin sorak sorai.
Akeh bandha musna ora karuan
lungane---> Banyak harta hilang entah ke mana
Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora
karuan sababe---> Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
Akeh barang-barang haram, akeh bocah
haram---> Banyak barang haram, banyak anak haram.
Bejane sing lali, bejane sing
eling---> Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
Nanging sauntung-untunge sing
lali---> Tapi betapapun beruntung si lupa.
Isih untung sing waspada---> Masih
lebih beruntung si waspada.
Angkara murka saya ndadi---> Angkara
murka semakin menjadi.
Kana-kene saya bingung---> Di
sana-sini makin bingung.
Pedagang akeh alangane---> Pedagang
banyak rintangan.
Akeh buruh nantang juragan---> Banyak
buruh melawan majikan.
Juragan dadi umpan---> Majikan
menjadi umpan.
Sing suwarane seru oleh pengaruh--->
Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
Wong pinter diingar-ingar---> Si
pandai direcoki.
Wong ala diuja---> Si jahat
dimanjakan.
Wong ngerti mangan ati---> Orang yang
mengerti makan hati.
Bandha dadi memala---> Hartabenda
menjadi penyakit
Pangkat dadi pemikat---> Pangkat
menjadi pemukau.
Sing sawenang-wenang rumangsa menang
---> Yang sewenang-wenang merasa menang
Sing ngalah rumangsa kabeh salah--->
Yang mengalah merasa serba salah.
Ana Bupati saka wong sing asor imane--->
Ada raja berasal orang beriman rendah.
Patihe kepala judhi---> Maha
menterinya benggol judi.
Wong sing atine suci dibenci---> Yang
berhati suci dibenci.
Wong sing jahat lan pinter jilat saya
derajat---> Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
Pemerasan saya ndadra---> Pemerasan
merajalela.
Maling lungguh wetenge mblenduk --->
Pencuri duduk berperut gendut.
Pitik angrem saduwure pikulan--->
Ayam mengeram di atas pikulan.
Maling wani nantang sing duwe
omah---> Pencuri menantang si empunya rumah.
Begal pada ndhugal---> Penyamun
semakin kurang ajar.
Rampok padha keplok-keplok--->
Perampok semua bersorak-sorai.
Wong momong mitenah sing diemong--->
Si pengasuh memfitnah yang diasuh
Wong jaga nyolong sing dijaga---> Si
penjaga mencuri yang dijaga.
Wong njamin njaluk dijamin---> Si
penjamin minta dijamin.
Akeh wong mendem donga---> Banyak
orang mabuk doa.
Kana-kene rebutan unggul---> Di
mana-mana berebut menang.
Angkara murka ngombro-ombro--->
Angkara murka menjadi-jadi.
Agama ditantang---> Agama ditantang.
Akeh wong angkara murka---> Banyak
orang angkara murka.
Nggedhekake duraka--->
Membesar-besarkan durhaka.
Ukum agama dilanggar---> Hukum agama
dilanggar.
Prikamanungsan di-iles-iles--->
Perikemanusiaan diinjak-injak.
Kasusilan ditinggal---> Tata susila
diabaikan.
Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal
budi---> Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
Wong cilik akeh sing kepencil--->
Rakyat kecil banyak tersingkir.
Amarga dadi korbane si jahat sing
jajil---> Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe
prajurit---> Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
Lan duwe prajurit---> Dan punya
prajurit.
Negarane ambane saprawolon---> Lebar
negeri seperdelapan dunia.
Tukang mangan suap saya ndadra--->
Pemakan suap semakin merajalela.
Wong jahat ditampa---> Orang jahat
diterima.
Wong suci dibenci---> Orang suci
dibenci.
Timah dianggep perak---> Timah
dianggap perak.
Emas diarani tembaga---> Emas
dibilang tembaga.
Dandang dikandakake kuntul---> Gagak
disebut bangau.
Wong dosa sentosa---> Orang berdosa
sentosa.
Wong cilik disalahake---> Rakyat
jelata dipersalahkan.
Wong nganggur kesungkur---> Si
penganggur tersungkur.
Wong sregep krungkep---> Si tekun
terjerembab.
Wong nyengit kesengit---> Orang busuk
hati dibenci.
Buruh mangluh---> Buruh menangis.
Wong sugih krasa wedi---> Orang kaya
ketakutan.
Wong wedi dadi priyayi---> Orang
takut jadi priyayi.
Senenge wong jahat---> Berbahagialah
si jahat.
Susahe wong cilik---> Bersusahlah
rakyat kecil.
Akeh wong dakwa dinakwa---> Banyak
orang saling tuduh.
Tindake manungsa saya kuciwa---> Ulah
manusia semakin tercela.
Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi
sing dipilih lan disenengi---> Para raja berunding negeri mana yang dipilih
dan disukai.
Wong Jawa kari separo---> Orang Jawa
tinggal setengah.
Landa-Cina kari sejodho ---> Belanda
- Cina tinggal sepasang.
Akeh wong ijir, akeh wong cethil--->
Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
Sing eman ora keduman---> Si hemat
tidak mendapat bagian.
Sing keduman ora eman---> Yang mendapat
bagian tidak berhemat.
Akeh wong mbambung---> Banyak orang
berulah dungu.
Akeh wong limbung---> Banyak orang
limbung.
Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman
teka---> Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.
Bait Terakhir Ramalan Jayabaya
140. polahe wong Jawa kaya gabah
diinteri\ endi sing bener endi sing sejati\ para tapa padha ora wani\ padha
wedi ngajarake piwulang adi\ salah-salah anemani pati\
141. banjir bandang ana ngendi-endi\
gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni\ gehtinge kepathi-pati marang
pandhita kang oleh pati geni\ marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti\
142. pancen wolak-waliking jaman\
amenangi jaman edan\ ora edan ora kumanan\ sing waras padha nggagas\ wong tani
padha ditaleni\ wong dora padha ura-ura\ beja-bejane sing lali,\ isih beja kang
eling lan waspadha\
143. ratu ora netepi janji\ musna kuwasa
lan prabawane\ akeh omah ndhuwur kuda\ wong padha mangan wong\ kayu gligan lan
wesi hiya padha doyan\ dirasa enak kaya roti bolu\ yen wengi padha ora bisa
turu\
144. sing edan padha bisa dandan\ sing
ambangkang padha bisa\ nggalang omah gedong magrong-magrong\
145. wong dagang barang sangsaya laris,
bandhane ludes\ akeh wong mati kaliren gisining panganan\ akeh wong nyekel
bendha ning uriping sengsara\
146. wong waras lan adil uripe ngenes
lan kepencil\ sing ora abisa maling digethingi\ sing pinter duraka dadi kanca\
wong bener sangsaya thenger-thenger\ wong salah sangsaya bungah\ akeh bandha
musna tan karuan larine\ akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan
sebabe\
147. bumi sangsaya suwe sangsaya
mengkeret\ sakilan bumi dipajeki\ wong wadon nganggo panganggo lanang\ iku
pertandhane yen bakal nemoni\ wolak-walike zaman\
148. akeh wong janji ora ditepati\ akeh
wong nglanggar sumpahe dhewe\ manungsa padha seneng ngalap,\ tan anindakake
hukuming Allah\ barang jahat diangkat-angkat\ barang suci dibenci\
149. akeh wong ngutamakake royal\ lali
kamanungsane, lali kebecikane\ lali sanak lali kadang\ akeh bapa lali anak\
akeh anak nundhung biyung\ sedulur padha cidra\ keluarga padha curiga\ kanca
dadi mungsuh\ manungsa lali asale\
150. ukuman ratu ora adil\ akeh pangkat
jahat jahil\ kelakuan padha ganjil\ sing apik padha kepencil\ akarya apik
manungsa isin\ luwih utama ngapusi\
151. wanita nglamar pria\ isih bayi
padha mbayi\ sing pria padha ngasorake drajate dhewe\
Bait 152 sampai dengan 156 hilang
157. wong golek pangan pindha gabah den
interi\ sing kebat kliwat, sing kasep kepleset\ sing gedhe rame, gawe sing
cilik keceklik\ sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati\ nanging sing
ngawur padha makmur\ sing ngati-ati padha sambat kepati-pati\
158. cina alang-alang keplantrang
dibandhem nggendring\ melu Jawa sing padha eling\ sing tan eling miling-miling\
mlayu-mlayu kaya maling kena tuding\ eling mulih padha manjing\ akeh wong
injir, akeh cethil\ sing eman ora keduman\ sing keduman ora eman\
159. selet-selete yen mbesuk ngancik
tutuping tahun\ sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu\ bakal ana dewa
ngejawantah\ apengawak manungsa\ apasurya padha bethara Kresna\ awatak
Baladewa\ agegaman trisula wedha\ jinejer wolak-waliking zaman\ wong nyilih
mbalekake,\ wong utang mbayar\ utang nyawa bayar nyawa\ utang wirang nyaur
wirang\
160. sadurunge ana tetenger lintang
kemukus lawa\ ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener\ lawase pitung bengi,\
parak esuk bener ilange\ bethara surya njumedhul\ bebarengan sing wis mungkur
prihatine manungsa kelantur-lantur\ iku tandane putra Bethara Indra wus katon\
tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa\
161. dunungane ana sikil redi Lawu sisih
wetan\ wetane bengawan banyu\ andhedukuh pindha Raden Gatotkaca\ arupa pagupon
dara tundha tiga\ kaya manungsa angleledha\
162. akeh wong dicakot lemut mati\ akeh
wong dicakot semut sirna\ akeh swara aneh tanpa rupa\ bala prewangan makhluk
halus padha baris, pada rebut benere garis\ tan kasatmata, tan arupa\ sing
madhegani putrane Bethara Indra\ agegaman trisula wedha\ momongane padha dadi
nayaka perang\ perange tanpa bala\ sakti mandraguna tanpa aji-aji
163. apeparap pangeraning prang\ tan
pokro anggoning nyandhang\ ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong
sakpirang-pirang\ sing padha nyembah reca ndhaplang,\ cina eling seh seh kalih
pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang\
164. putra kinasih swargi kang jumeneng
ing gunung Lawu\ hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti\ mumpuni
sakabehing laku\ nguel tanah Jawa kaping pindho\ ngerahake jin setan\ kumara
prewangan, para lelembut ke bawah parintah saeko proyo\ kinen ambantu manungso
Jawa padha asesanti trisula weda\ landhepe triniji suci\ bener, jejeg, jujur\
kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong\
165. pendhak Sura nguntapa kumara\ kang
wus katon nebus dosane\ kadhepake ngarsaning sang kuasa\ isih timur kaceluk wong
tuwa\ paringane Gatotkaca sayuta\
166. idune idu geni\ sabdane malati\
sing mbregendhul mesti mati\ ora tuwo, enom padha dene bayi\ wong ora ndayani
nyuwun apa bae mesthi sembada\ garis sabda ora gentalan dina,\ beja-bejane sing
yakin lan tuhu setya sabdanira\ tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa\
nanging inung pilih-pilih sapa\
167. waskita pindha dewa\ bisa nyumurupi
lahire mbahira, buyutira, canggahira\ pindha lahir bareng sadina\ ora bisa
diapusi marga bisa maca ati\ wasis, wegig, waskita,\ ngerti sakdurunge winarah\
bisa pirsa mbah-mbahira\ angawuningani jantraning zaman Jawa\ ngerti garise
siji-sijining umat\ Tan kewran sasuruping zaman\
168. mula den upadinen sinatriya iku\
wus tan abapa, tan bibi, lola\ awus aputus weda Jawa\ mung angandelake trisula\
landheping trisula pucuk\ gegawe pati utawa utang nyawa\ sing tengah sirik gawe
kapitunaning liyan\ sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda\
169. sirik den wenehi\ ati malati bisa
kesiku\ senenge anggodha anjejaluk cara nistha\ ngertiyo yen iku coba\ aja
kaino\ ana beja-bejane sing den pundhuti\ ateges jantrane kaemong sira
sebrayat\
170. ing ngarsa Begawan\ dudu pandhita
sinebut pandhita\ dudu dewa sinebut dewa\ kaya dene manungsa\ dudu seje daya
kajawaake kanti jlentreh\ gawang-gawang terang ndrandhang\
171. aja gumun, aja ngungun\ hiya iku
putrane Bethara Indra\ kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan\ tumurune
tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh\ hiya siji iki kang bisa paring pituduh\
marang jarwane jangka kalaningsun\ tan kena den apusi\ marga bisa manjing
jroning ati\ ana manungso kaiden ketemu\ uga ana jalma sing durung mangsane\
aja sirik aja gela\ iku dudu wektunira\ nganggo simbol ratu tanpa makutha\ mula
sing menangi enggala den leluri\ aja kongsi zaman kendhata madhepa den
marikelu\ beja-bejane anak putu\
172. iki dalan kanggo sing eling lan
waspada\ ing zaman kalabendu Jawa\ aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak
dewa\ cures ludhes saka braja jalma kumara\ aja-aja kleru pandhita samusana\
larinen pandhita asenjata trisula wedha\ iku hiya pinaringaning dewa\
173. nglurug tanpa bala\ yen menang tan
ngasorake liyan\ para kawula padha suka-suka\ marga adiling pangeran wus teka\
ratune nyembah kawula\ angagem trisula wedha\ para pandhita hiya padha muja\
hiya iku momongane kaki Sabdopalon\ sing wis adu wirang nanging kondhang\
genaha kacetha kanthi njingglang\ nora ana wong ngresula kurang\ hiya iku
tandane kalabendu wis minger\ centi wektu jejering kalamukti\ andayani indering
jagad raya\ padha asung bhekti\
Komentar
Posting Komentar